ANUGERA DARI DIA

TUHAN MEMBERKATI KAMI

Selasa, 06 Agustus 2013

PERTUMBUHAN MISI DI KARO DAN KOMUNITAS SEL (PJJ)


PERTUMBUHAN MISI DI KARO DAN KOMUNITAS SEL (PJJ)

  1. Pendahuluan
Injil adalah Kabar Baik tentang penyelamatan manusia oleh Yesus Kristus telah melahirkan gerejaNya di Indonesia, termasuk di daerah Sumatera Utara. Kita tahu bahwa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa yang memiliki latar belakang budaya, adapt istiadat, dimana antara yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan di simpang ada juga persamaan, di samping itu situasi sosial politik yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain turut memberi warna bagaimana Injil itu diberikan dan diterima oleh  satu kelompok/kumunitas manusia tertentu. Demikianlah sesuatu dengan permintaan dari penyelenggara Seminar Rohani Interdenominasi Gereja yang bertemakan, “pergilah keseluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Markus 16:15), Moderamen GBKP mempercayakan tugas ini kepada saya. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada, tulisan ini disumbangakan kepada kita, kiranya bermanfaat walaupun kecil, dan sedikit memberi corak Seminar Rohani ini, kiranya Tuhan kita Yesus Kristus tetap dimuliakan.

  1. Latar Belakang Goegrafis, Sosial Politik Dan Budaya
            Secara goegrafis dan sosial politik, masyarakat karo bermukin di sepanjang kaki Bukit Barisan, bagian Timur Sumatera Utara, dan lereng Bukit Barisan, serta dua puncak gunung berapi yang masih aktif yaitu Sibayak dan Sinabung. Lereng Bukit Barisan membelah pemukinan masyarakat Karo menjadi Dataran Tinggi (1200m-1400m) dan pemukiman saudaranya di Dataran Rendah (Serdang, Deli, Dan Langkat Hulu). Pemukiman Masyarakat Karo berdampingan dengan daerah dan suku lain yaitu:
Ø      Sebelah Utara                          : Dengan suku Gayo dan Alas
Ø      Sebelah Barat                          : Dengan suku Pakpak dan Toba
Ø      Sebelah Selatan                       : Dengan suku Simalungun
Ø      Sebelah Timur                         : Dengan suku Malayu
Di daerah Dataran Tinggi, petani menanam sayuran dan buah-buahan. Lahan di daerah Dataran Rendah cocok untuk pertanian padi dan untuk lahan perkebunan karet dan tambakau. Khususnya perkebunan tembakau di daerah Deli, Serdang, dan Langkat sangat banyak memberi keuntungan kepada pihak pengusaha perkembunan dan pemerintah Belanda, pada tahun 1889 tercatat 170 buah perkebunan tembakau di daerah ini yang setiap tahunnya memberi keuntungan sebesar f , 30.000.000 (tiga puluh juta golden) kepada bangsa Belanda, J. T. Creamer berhasiil menjadi pimpinan gabungan perkebunan tembakau terbesar di daerah ini yang dinamai Deli Maatschappy. Perluasan areal perkebunan tembakau Belanda ini banyak menimbulkan kebencian masyarakat karena pihak perkebunan merampas tanah rakyat, masyarakat sering membakar bangsal-bangsal perkebunan. Sering terjadi peperangan antara rakyat dan polisi-polisi Belanda yang menewaskan tidak sedikit pihak masing-masing.
   Perang yang paling besar adalah “perang Sunggal” di mana pihak pemerintah Belanda mendatangkan tentara Belanda pada tanggal 14 Mei 1872. Pemerintah Belanda sendiri menyebut perang ini “Perang Batak”(Batak Oolog). Walaupun secara umum pihak Belanda yang manang, namun masyarakat meneruskan perang ini secara bergerilya sampai 25 tahun. J. T, Creamer yang pada tahun 1897 telah menjabat Menteri (daerah) Jajahan, dalam rapat anggara daerah jajahan menyampaikan pidatonya yang dikatakan “Sangat Mendesak”. Dengan alas an menghambat kerjasama antara Aceh dan Karo melawan Belanda dan membendung pengaruh Islam ke daerah Karo, dirasa perlu memadamkan perlawanan masyarakat Karo dengan pengembangan Agama Kristen

            Masyarakat Karo sejak leluhurnya telah hidup dalam tata sosial budaya, sosial dan sosial ekonomi sendiri. Mereka terikat oleh suatu identitas bersama yang disebut “Merga Si Lima”, “Tutur Si Waluh”, “Rakut Si Telu”. Mereka mempunyai bahasa sendiri, aksara sendiri, adapt istiadar sendiri, system kepercayaan sendiri yang mereka sebut ‘agama pemena’ yang artinya pertama. Kebudayaan tersebut dipelihara dari generasi-ke generasi.
 Karena masyarakat Karo hanya mempunyai 5 (lima) marga induk, yakni karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginan-angin, beserta cabang masing-masing, maka jika mereka bertemu dan berkenalan (ertutur), kesimpulannya mereka pasti berkeluarga (ersenina, kalimbubu, dan anak beru). Itulah yang dimaksud dengan “Rakut Si Telu” (Tiga jenis pengikat). Dengan ikatan kekerabatan tersebut, mereka memiliki tanggung jawab masing-masing dalam acara adat, baik suka maupun duka.



  1. Hambatan Misi Pada Periode Pertama
            Pada tanggal 18 April 1890, tibalah penginjilan pertama ke daerah Karo (desa Buluh Aswer) yaitu Pdt. H.C. Kruyt dengan membawa 4 (empat) orang Guru Injil dari Minahasa. Penginjilan NZG ini berbangsa Belanda. Perang rakyat 1872-1897 yang telah banyak menelan korban mewarnai sikap masyarakat Karo atas kehadiran penginjilan ini. Penginjilan ini sebangsa dengan Tuan Kebun dan tentara Belanda. Mereka curiga bahwa para penginjilan tersebut adalah musuh, dan bukan sahabat. Dua tahun H.C. Kruyt bekerja di Buluh Awar tidak seorang Karo pun yang bersedia dibabtis. Penggantinya Pdt. J.K. Wijangarden membuka hati orang Karo dengan pendekatan kasih. Setelah bekerja selama 2 (dua) tahun, ada 6 ( enam) orang Karo yang menjadi Kristen.
            Hambatan lain adalah tidak adanya pendidikan.cara berpikir yang tradisonal, tertutup, selalu curiga, membuat pekerjaan penginjilan NZG ini selalu mendapat kesulitan. Para misionaris NZG sadar bahwa pendidikan harus dimulai. Satu per satu sekolah-sekolah didirikan. Terutama setelah kedatangan Pdt. J.H. Neumann tahun 1900 bersama dengan misionaris lainnya, mereka menambah sekolah, membukka poliklinik kesehatan dan memajukan perekonomian rakyat melalui pembukaan pasar dimana hasil pertanian rakyat dipasarkan. Masyarkat juga dididik di bidang pertania.
Pada Jubileum 50 tahun Injil berada di daerah Karo, Pdt. J. van Mulwijk mengungkapkan bahwa:
Ø      Tahun 1890-1900 (10 tahun pertama), anggota babtis 25 orang
Ø      Tahun 1890-1940 (50 tahun), anggota babtis 5574 orang


  1. Masa Pertumbuhan
4.1. Pada tahun 1953, TNI Batalyon 114 yang bertugas di Aceh yang anggotanya mayoritas orang Karo dibabtis setelah mereka dikatekisasi.
4.2. Dengan bertambahanya pemuda-pemudi pindah sekolah ke kota, mereka memilih agama Kristen GBKP. Pada Jubileum  75 tahun GBKP tanggal 18 april 1965, anggota GBKP telah mencapai 35.000 orang
4.3. Perkembangan yang sangat signifikan dengan pecahnya G 30 S oktober 1965. pada masa ini terjadi babtisan massal di banyak tempat sehingga di tahun 1966-1972 anggota GBKP telah mencapai 100.000 orang
4.4. Bertitik tolak dari tema Sidang Raya PGI 1967 di Pamatang Siantar “Disuruh ke dalam dunia”, GBKP melihat bahwa Kabar Baik (Injil) itu perlu diterjemahkan dalam tindakan yang menyejahterakan orang miskin (Lukas 4:18). GBKP telah memutuskan pendirian Depertemen Perpem (1975) yang bergerak dalam pengembangan masyarakat. Tim Parpem memberi penyuluhan pertanian, peternakan, pembangunan infrastruktur (pembangunan jalan/jabatan, air minum, PLTA). Masyarakat dimotivasi untuk membentuk Credit Union (CU). Untuk mendukung program CU, GBKP mendirikan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) Pijar Podi Kekelengen pada 11 Januari 1992. BPR ini melayani nasabah orang kecil/miskin, baik Kristen maupun non-Kristen.
4.5. Penerbitan  Alkitab Bahasa Karo yang lengkap (1987) disambut anggota jemaat dengan antusias. Selanjutnya setelah pencetakan yang digabung dengan Kitab Ende-enden (Nyanyian Rohani GBKP) pada tahun 1995, hamper setiap anggota dewasa memiliki Alkitab bahasa Karo dan dibawa dalam kebaktian Minggu dan “Perpulungan Jabu-jabu” (PJJ)  yang diadakan 1x  seminggu.

  1. Perpulungan  Jabu-jabu (PJJ) Komunitas Sel
Dalam budaya Karo, ada sebuah kegiatan yang disebut “runggu”, yang berarti musyawarah. Misalnya, jiakalau ada peristiwa penting seperti perkawinan, memasuki rumah baru, kedatangan penginjil, perpisahan dengan penginjil, peristiwa suka-suka lainnya, maka diadakan musyawarah untuk mempersiapkan semua kebutuhan dengan baik. Demikian juga halnya dalam kegiatan gereja seperti pembangunan gereja ataupun perayaan gereja, maka diadakan “runggu” ini. Acara tersebut biasanya dimulai dengan nyanyian, berdoa, dan membaca Firman Tuhan. Dalam perkembangan GBKP, khususnya setelah GBKP menjadi sebuah Synode (23 Juli 1941), tradisi ini diteruskan, disempurnakan, sehingga walaupun tidak ada peristiwa penting yang akan dipersiapkan, kebiasaan berkumpul membahas/menelaah Firman Tuhan dilakukan 1x seminggu di rumah-rumah anggota jemaat secara bergiliran, setelah mendengarkan Firman Tuhan diadakan diskusi, baik mengenai ayat Alkitab yang telah diberitakan, maupun pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari Komunikasi terjadi dua arah, setiap orang berhak memberikan pendapat. Ayat Alkitab yang didiskusikan untuk pertama (1941-1960) masih ditentukan oleh Pendeta, penetua/diaken setempat. Kemudian untuk adanya keseragaman, diambil dari bacaan pertama (epistle ) dalam kebaktian Minggu. Pada tahun 70-an, pengurus Moderemen menentukan secara sinodal, baik nas renungan mamupun topik bahasan secara tematis.
            Pada saat ini, setiap 30 KK (kepala keluarga) membentuk 1 (satu) sector/kelompok yang mempunyai susunan pengurus jikalau anggota telah mencapai 50-60 KK boleh dimekarkan menjadi 2 (dua) sector, muncul sector baru. Jam pertemuan ditentukan menurut kesepakatan bersama (sore atau malam).
Dalam pertumbuhan jemaat GBKP, data saat ini memperlihatkan:
Ø      Tempat kebatian minggu            856 tempat/gereja
Ø      Anggota jemaat          301,748 orang
Ø      Sektor PJJ (Sel)           2.639 buah
Dalam tata cara PJJ ini, ada pengumpulan persembahan, sebagaian (60%) disetor ke kas umum GBKP untuk kas PJJ setempat ditambah 10% dari perpuluhan jemaat sector, persembahan ucapan syukur, dan 20% persembahan Pekan Penatalayanan, Pekan Keluarga dan Pekan Doa`
Kas sektor PJJ digunakan untuk kegiatan koinonia, Marturia, Diakonia dan Administrasi. Masa kerja pengurus untuk 1 (satu) periode adalah 5 (lima) tahun

  1. Penutup
Sebagaimana gereja pertama di Yerusalem yang mengalami banyak hambatan, namun berkat pekerjaan Roh Tuhan akhirnya benih yang sedikit bertumbuh menjadi lebih banyak. Demikian juga kita melihat di tengah masyarakat Karo, gereja Tuhan bertumbuh bersama dengan gereja lain seperti Roma Katolik, GPdI, GSRI, dan gereja lainnya memuji nama Tuhan kita Yesus Kristus. Namanya dimuliakan sampai selama-lamanya.



Kepustakaan
  1. Van Den End, Th. Ragi Cerita 2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999)
  2. Sinuraya, P. Sejarah GBKP Jilid 1 1890-1941 (Medan: Toko Buku Kristen Merga Si Lima, 1987)
  3.                    . Sejarah GBKP Jilid II 1941-2005 (Medan: Toko Buku Kristen Merga Si Lima, 1987)
  4.                    . Cuplikan Sejarah Penginjilan kepada Masyarakat Karo 1890-2000 (Medan: Berkat Jaya Utama 2002)



Pdt. Julianus Keliat
Di tulis kembali oleh : Lukas P. Hutasoit, S.Pd.K

Tidak ada komentar:

Posting Komentar